Senin, 22 Agustus 2016

asuhan keperawatan pada Sindrom nefrotik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).
            Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom nefrotik perubahan minimal ( SNPM ) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal.
            Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien, didapatkan insiden terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 – 6 tahun sebanyak 25 pasien (54,3%), dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio 1,71 : 1. Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per 100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap, 2005 ). Insiden sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang, insidennya lebih tinggi. Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun. (Tika Putri, http://one.indoskripsi.com ) Dengan adanya insiden ini, diharapkan perawat lebih mengenali tentang penyakit nefrotik dan mengaplikasikan rencana keperawatan terhadap pasien nefrotik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana laporan pendahuluan pada penyakit Sindrom nefrotik?
Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit Sindrom nefrotik?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui laporan pendahuluan pada penyakit Sindrom nefrotik?
2.      Mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit Sindrom nefrotik?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).


2.      Anatomi dan Fisiologi
            Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.

            Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
            Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
            Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.    
1.        Faal glomerolus
                 Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
2.    Tubulus
                 Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
             a)    Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
       b)    Loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
       c)    Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.
       d)    Duktus koligentis
Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwY2-nX1_fA1RowoJpiE42rEBnUDJjSIwcmY4C3LkGA1O3VHR2hJhnO4wXkS0XBLQ_iGlLr_ruYj9YXYy1QCaBe20hLYexYiiWt1s8vbyH8ZeFl0vO1osSqS3TE-JgUhh5mmAzKwI2nP2B/s1600/nephron.jpg









3.      Etiologi
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1.      Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a.       Glomerulonefritis
b.      Nefrotik sindrom perubahan minimal
2.      Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti berikut ini.
a.       Dibetes militus
b.      Sistema lupus eritematosus
c.       Amyloidosis

4.      Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi hipoalbuminemia.
           Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler.
           Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal

5.      Pathway (terlampiran)

6.      Kalsifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1.      Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2.      Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3.      Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria.
4.      Sindrom Nefrotik menurut terjadinya (2,3)
a.       Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria massif dan hipercolestrolemia.
b.      Sindrom Nefrotik yang didapat:
Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.

7.      Manifestasi Klinis
1.      Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:
a.                 Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.
b.                Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c.                 Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d.                Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
2.      Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang        mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
3.      Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan tekanan permukaan akibat proteinuria.
4.      Hematuri
5.      Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
6.      Malaise
7.      Sakit kepala
8.      Mual, anoreksia
9.      Irritabilitas
10.  Keletihan

8.      Komplikasi
1.      Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
2.      Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat kehilangan immunoglobulin.
3.      Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
4.      Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.

9.      Pemeriksaan Diagnostik
1.      Laboratorium
a.       Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).
b.      Pemeriksaan darah
1.        Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
2.        Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.
3.        Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal
2.      Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara jelas, yaitu:
a.       Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).
b.      Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).

10.  Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan risiko komplikasi.
1.         Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
a.       Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b.      Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
c.       Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
d.      Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon, furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis aldosteron.
e.       Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
1.    Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2.    Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
3.    Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
f.       Lain-lain
            Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)
g.      Diet
Diet rendah garam (0,5 – 1 gr sehari) membantu menghilangkan edema. Minum tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi ginjal kecuali bila terdapat hiponatremia. Diet tinggi protein teutama protein dengan ilai biologik tinggi untuk mengimbangi pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup banyak.
            Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
            Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit. Diet rendah natrium tinggi protein. Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein di tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium.
h.      Kemoterapi:
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.j
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.

2.         Penatalaksanaan Keperawatan
a. Tirah baring: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa harimungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
b.      Terapi cairan: Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
c.       Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
d.      Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e.       Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
f.       Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.

D.    Konsep Asuhan Keperawatan pada pasien diare
A.    Pengkajian
1.      Identitas pasien
1.      Identitas pasien : umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan genetik sejak lahir. Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya infeksi.
2.      Keluahan utama : biasanya pasien kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar (adanya acites).
3.      Riwayat penyakit saat ini : Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan hal berikut:
a.        Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
b.      Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah
c.       Kaji adanya anoreksia pada klien
d.      Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
4.      Riwayat penyakit dahulu :
a.       Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
b.      Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya?
c.       Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
5.      Riwayat penyakit keluarga : Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik.
6.      Pemeriksaan fisik:
1.      B1 (Breath)
a.       Subyektif, sesak atau tidak Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b.      Inspeksi, bentuk simetris, ekspansi , retraksi interkostal atau subcostal. Kaji frekuensi, irama dan tingkat kedalaman pernafasan, adakah penumpukan sekresi, stridor pernafas inspirasi atau ekspirasi.
c.       Palpasi, kajik adanya massa, nyeri tekan , kesemitrisan ekspansi, tacti vremitus (-).
d.      Auskultasi, dengan menggunakan stetoskop kaji suara nafas vesikuler, intensitas, nada dan durasi. Adakah ronchi, wheezing untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta seperti broncho pnemonia atau infeksi lainnya.
2.      B2 (Blood)
a.       Subyektif, Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari peningkatan beban volume .
b.      Inspeksi,  pucat, adanay tekanan vena jugularis atau tidak, pulasisi ictus cordis, adakah pembesaran jantung, suhu tubuh meningkat.
c.       Palpasi, suhu akral dingin karena perfusi jaringan menurun, heart rate meningkat karena vasodilatasi pembuluh darah, tahanan perifer menurun sehingga cardiac output meningkat. Kaji frekuensi, irama dan kekuatan nadi.
d.      Perkusi, normal redup, ukuran dan bentuk jantung secara kasar pada kausus Creeping eruption masih dalam batas normal (batas kiri umumnya tidak lebih dari 4-7 dan 10 cm ke arah kiri dari garis midsternal pada ruang interkostalis ke 4,5 dan 8.
e.       Auskultasi, auskulatasi bunyi jantung S1, S2, murmur atau bunyi tambahan lainnya. Kaji tekanan darah.
3.      B3 (Brain)
1.        Subyektif, klien sadar atau tidak. Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
2.        Inspeksi, Keadaan umum klien yang diamati mulai pertama kali bertemu dengan klien. Keadaan sakit diamati apakah berat, sedang, ringan atau tidak tampak sakit. Kesadaran diamati komposmentis, apatis, samnolen, delirium, stupor dan koma.
3.        Palpasi, adakah parese, anestesia,
4.        Perkusi, refleks fisiologis dan refleks patologis.
5.        Kepala, kesemitiras muka, cephal hematoma, caput sucedum, warna dan distibusi rambut serta kondisi kulit kepala kering, pada neonatus dan bayi  ubun-ubun besar tampak cekung.
6.        Mata, Amati mata conjunctiva adakah anemis, sklera adakah icterus. Reflek mata dan pupil terhadap cahaya, isokor, miosis atau midriasis. Pada keadaan diare yang lebih lanjut atau syok hipovolumia reflek pupil, mata cowong.
7.        Hidung, pada klien dengan dehidrasi berat dapat menimbulkan asidosis metabolik sehingga kompensasinya adalah alkalosis respiratorik untuk mengeluarkan CO2 dan mengambil O2,nampak adanya pernafasan cuping hidung.
8.        Telinga,  adakah infeksi telinga (OMA, OMP) berpengaruh pada kemungkinaninfeksi parenteal yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya diare (Lab. IKA FKUA, 1984)
4.      B4 (Bladder)
a)        Subyektif,  kencing sedikit lain dari biasanya atau tidak. Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
b)        Inspeksi, testis positif pada jenis kelamin laki-laki, apak labio mayor menutupi labio minor, pembesaran scrotum, rambut. BAK frekuensi, warna dan bau serta cara pengeluaran kencing spontan atau mengunakan alat. Observasi output tiap 24 jam atau sesuai ketentuan.
c)        Palpasi, adakah pembesaran scrotum,infeksi testis atau femosis.
5.      B5 (Bowel)
a.       Subyektif, Kelaparan, haus. Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
b.      Inspeksi, BAB, konsistensi (cair, padat, lembek), frekuensilebih dari 3 kali dalam sehari, adakah bau, disertai lendi atau darah. Kontur permukaan kulit menurun, retraksi dan kesemitrisan abdomen.
c.       Auskultasi, Bising usus (dengan menggunakan diafragma stetoskope), peristaltik usus meningkat (gurgling) > 5-20 detik dengan durasi 1 detik.
d.      Perkusi, mendengar aanya gas, cairan atau massa (-), hepar dan lien tidak membesar suara tymphani.
e.       Palpasi, adakahnyueri tekan, superfisial pemuluh darah, massa (-). Hepar dan lien tidak teraba
6.      B6 (Bone)
a.         Subyektif, lemah. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
b.        Inspeksi, klien tampak lemah, aktivitas  menurun
c.         Palpasi, hipotoni, kulit kering, elastisitas menurun. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan , kekuatan otot.
d.        Subyektif, kulit terdapat keloid berwarna kemerah-merahan.
e.         Inspeksi kulit kering atau tidk, selaput mokosa kering.
f.         Palpasi, berkeringat atau tidak, turgor kulit (kekenyalan kulit kembali dalam 1 detik = dehidrasi ringan, 1-2 detik = dehidrasi sedang dan > 2 detik = dehidrasi berat (Lab IKA FKUI, 1988).
7.      Pola Nutrisi
Makanan yang terinfeksi, sehingga status gizi dapat berubah ringan samapai jelek dan dapat terjadi hipoglikemia.
8.      Pola eliminasi
BAB (frekuensi, banyak, warna dan bau) atau tanpa lendir, darah dapat mendukung secara makroskopis terhadap kuman penyebab dan cara penangana lebih lanjut. BAK perlu dikaji untuk output terhadap kehilangan cairan lewat urine.
9.      Pola istirahat
Bisa tidur atau tidak pada malam hari.
10.  Pola aktivitas
Klien nampak lemah, gelisah sehingga perlu bantuan sekunder untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
(Doenges dkk, 2000).
B.     Diagnosa keperawatan
1.      Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia).
3.      Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan dan edema.
C.     Intervensi

No
Diagnosa keperawatan
(NANDA)

NOC

NIC

RASIONAL
1.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan Kelebihan volume cairan terkontrol dengan
Kriteria Hasil:
a.       Pasien tidak menunjukan tanda-tanda akumulasi cairan.
b.      Pasien mendapatkan volume cairan yang tepat.
a.       .
1.      Pantau asupan dan haluaran cairan setiap pergantian
2.      Timbang berat badan tiap hari
3.      Programkan pasien pada diet rendah natrium selama fase edema
4.      Kaji kulit, wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala +1 sampai +4).
5.      Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh: BUN, kreatinin, natrium, kalium, Hb/ht, foto dada
6.      Berikan obat sesuai indikasi Diuretik, contoh furosemid (lasix), mannitol (Os-mitol;


1.      Pemantauan membantu menentukan status cairan pasien.
2.      Penimbangan berat badan harian adalah pengawasan status cairan terbaik. Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg/hari diduga ada retensi cairan.
3.      Suatu diet rendah natrium dapat mencegah retensi cairan
4.      Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh.
5.      Mengkaji berlanjutnya dan penanganan disfungsi/gagal ginjal. Meskipun kedua nilai mungkin meningkat, kreatinin adalah indikator yang lebih baik untuk fungsi ginjal karena tidak dipengaruhi oleh hidrasi, diet, dan katabolisme jaringan.
6.      Diberikan dini pada fase oliguria untuk mengubah ke fase nonoliguria, untuk melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalimea, dan meningkatkan volume urine adekuat
2
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan Kriteria hasil: Klien dapat Mempertahankan berat badan yang diharapkan
1.      Kaji / catat pemasukan diet.
2.      Timbang BB tiap hari.
3.      Tawarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan .
4.      Berikan makanan sedikit tapi sering.
5.      Berikan diet tinggi protein dan rendah garam.
6.      Berikan makanan yang disukai dan menarik
7.      Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh: BUN, albumin serum, transferin, natrium, dan kalium.

1.      Membantu dan mengidentifikasi defisiensii dan kebutuhan diet.
2.      Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat menunjukkan perpindahan keseimbangan cairan.
3.      Meningkatkan nafsu makan
4.      meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik
5.      Memenuhi kebutuhan protein, yang hilang bersama urine.
6.      Pasien cenderung mengonsumsi lebih banyak porsi makan jika ia diberi beberapa makanan kesukanannya.
7.      Indikator kebutuhan nutrisi, pembatasan, dan efektivitas terapi.

3
Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan dan edema.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan Resiko kehilangan cairan tidak terjadi dengan Kriteria Hasil: Tidak ditemukannya atau tanda-tandanya  kehilangan cairan intravaskuler seperti:
a.    Masukan dan keluaran seimbang
b.    Tanda vital yang stabil
c.    Elektrolit dalam batas normal
d.   Hidrasi adekuat yang ditunjukkan dengan turgor kulit yang normal

1.      .  Awasi TTV
2.      Kaji masukan dan haluaran cairan. Hitung kehilangan tak kasat mata.
3.      Kaji membran mukosa mulut  dan elastisitas turgor kulit
4.      Berikan cairan sesuai indikasi ; misalnya albumin
5.      Berikan cairan parenteral sesuai dengan petunjuk
6.      Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh protein (albumin)
1.      Hipotensi ortostatik dan takikardi indikasi hipovolemia.
2.      Membantu memperkirakan kebutuhan penggantian cairan.
3.      Membran mukosa kering, turgor kulit buruk, dan penurunan nadi dalah indikator dehidrasi
4.      penggantian cairan tergantung dari berapa banyaknya cairan yang hilang atau dikeluarkan.
5.      Pemberian cairan parenteral diperlukan, dengan tujuan mempertahankann hidrasi yang adekuat.
6.      Mengkaji untuk penanganan medis berikutnya



D.    Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup : melakukan, membantu dan mengarahkan kinerja aktivitas sehari - hari, memberikan arahan keperawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien dan mengevaluasi kinerja anggota staf dan mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan perawat kesehatan berkelanjutan dari klien. Selain itu juga implementasi bersifat berkesinambungan dan interaktif dengan komponen lain dari proses keperawatan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima tahap yaitu : mengkaji ulang klien, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang sudah ada, mengidentifikasi  area bantuan, mengimplementasikan intervensi keperawatan dan mengkomunikasikan intervensi perawat menjalankan asuhan keperawatan dengan menggunakan beberapa metode implementasi mencakup supervise, konseling, dan evaluasi dari anggota tim perawat kesehatan lainnya.
Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskriptif singkat dari pengkajian keperawatan. Prosedur spesifik dan respon dari klien terhadap asuhan keperawatan. Dalam implementasi dari asuhan keperawatan mungkin membutuhkan pengetahuan tambahan keterampilan keperawatan dan personal.
E.     EVALUASI
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat mengevaluasi apakah prilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam diagnosa keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama evaluasi perawatan memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya dengan prilaku yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan. Selama evaluasi perawat secara kontinyu perawat mengarahkan kembali asuhan keperawatan kearah terbaik untuk memenuhi kebutuhan klien.
Evaluasi positif terjadi ketika hasil yang dinginkan  terpenuhi menemukan perawat untuk menyimpulkan bahwa dosis medikasi dan intervensi keperawatan secara efektif memenuhi tujuan klien untuk meningkatkan kenyamanan. Evaluasi negative atau tidak di inginkan menandakan bahwa masalah tidak terpecahkan atau terdapat masalah potensial yang belum diketahui. Perawat harus menyadari bahwa evaluasi itu dinamis dan berubah terus tergantung pada diagnosa keperawatan dan kondisi klien. Hal yang lebih utama evaluasi harus spesifik terhadap klien. Evaluasi yang akurat mengarah pada kesesuaian revisi dan rencana asuhan yang tidak efektif dan penghentian terapi yang telah menunjukan keberhasilan.












Lampiran 1. Pathway
 
 
Lampiran  Pathway
Dibetes militus
 
glomerulonefritis
 
                       
 






























Perubahan nutrisi kurang
 

Kelebihan volume cairan
 

Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler
 


 

















BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).

2.      Saran
1.      Saran Bagi Mahasiswa Keperawatan
Mahasiswa keperawatan agar meningkatkan pemahamannya terhadap penyakit Sindrom nefrotik sehingga dapat dikembangkan dalam tatanan layanan keperawatan.
2.      Saran Bagi Perawat
Diharapkan agar perawat bisa menindak lanjuti penyakit tersebut melalui kegiatan riset sebagai dasar untuk pengembangan Evidence Based Nursing Practice.
3.      Saran Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan hendaknya menyediakan buku – buku yang ada kaitannya dengan penyakit Sindrom nefrotik, sehingga menambah refrensi bagi mahasiswa keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

1.      Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC
2.      Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan. Salemba medika. Jakarta.
3.      Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
4.      Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Satu Diagnosa Keperawatan Nanda NIC NOC, Edisi 9. EGC. Jakarta
5.      Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
6.      Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1, Media Aesculapius: Jakarta 
9.      http://ryrilumoet.blogspot.co.id/2010/11/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar