BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis
ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein
densitas rendah (hiperlipidemia).
Insidens
lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan prognosis anak
dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan
ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan.
Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom nefrotik
perubahan minimal ( SNPM ) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom
nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi
5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid. Bayi dengan sindrom nefrotik
tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi
ginjal.
Berdasarkan
hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien, didapatkan insiden terbanyak
sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 – 6 tahun sebanyak 25 pasien
(54,3%), dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio 1,71
: 1. Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per
100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap, 2005 ). Insiden sindrom nefrotik pada
anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2 - 4 kasus baru
per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang, insidennya lebih tinggi.
Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per
100.000 anak per tahun. (Tika Putri, http://one.indoskripsi.com ) Dengan
adanya insiden ini, diharapkan perawat lebih mengenali tentang penyakit
nefrotik dan mengaplikasikan rencana keperawatan terhadap pasien nefrotik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana laporan
pendahuluan pada penyakit Sindrom nefrotik?
Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit Sindrom nefrotik?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
laporan
pendahuluan pada penyakit Sindrom nefrotik?
2.
Mengetahui
asuhan keperawatan pada penyakit Sindrom nefrotik?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala
gangguan klinis, meliputi hal-hal: Proteinuria
masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang
sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis
ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein
densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang
ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia.
(Baughman, 2000).
2. Anatomi dan Fisiologi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang
terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri
kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh
karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal
kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal
setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula.
Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata
12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini
ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam
kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah
2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis
dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks
sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat
tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron
terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal
(kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih
kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Ginjal
berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui
ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini
sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh
cardiac output.
1.
Faal glomerolus
Fungsi
terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke
tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan
hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap
menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR
normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur
2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
2. Tubulus
Fungsi utama
dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada
dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
a) Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan
bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah
protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan
elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam
karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
b) Loop
of henle
Loop of
henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick
limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
c) Tubulus
distalis
Mengatur keseimbangan
asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan
ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.
d) Duktus
koligentis
Mereabsorbsi
dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus koligen
kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.

3. Etiologi
Penyebab
nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. Primer, berkaitan dengan
berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a.
Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom
perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi,
penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti berikut ini.
a. Dibetes militus
b. Sistema lupus
eritematosus
c. Amyloidosis
4. Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi
untuk menyaring darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan
sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena inflamasi dan hialinisasi
sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun
hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk
terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi
hipoalbuminemia.
Hilangnya
protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan edema
generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang
cairan ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler
menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan
disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan
reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan
dan akhirnya menambah volume intravaskuler.
Hilangnya
protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density Lipoprotein) dalam
hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya
hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati
yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak
dalam urin ( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena
sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup glomerulosklerosis
interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan
trombosis vena renal
5. Pathway
(terlampiran)
6. Kalsifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe
sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change
nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah.
Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal
bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.
Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya
adalah edema dan proteinuria.
4.
Sindrom Nefrotik menurut
terjadinya (2,3)
a.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe
Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir
premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan).
Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites,
biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria massif dan
hipercolestrolemia.
b.
Sindrom Nefrotik yang didapat:
Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.
7.
Manifestasi Klinis
1.
Tanda paling umum adalah
peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:
a.
Edema periorbital, yang tampak
pada pagi hari.
b.
Pitting, yaitu edema
(penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c.
Penumpukan cairan pada rongga
pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d.
Penumpukan cairan pada rongga
peritoneal yang menyebabkan asites.
2.
Hipertensi (jarang terjadi),
karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin
yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
3.
Beberapa pasien mungkin
mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan tekanan permukaan akibat
proteinuria.
4.
Hematuri
5.
Oliguri (tidak umum terjadi
pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler yang
menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan
disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
6.
Malaise
7.
Sakit kepala
8.
Mual, anoreksia
9.
Irritabilitas
10.
Keletihan
8.
Komplikasi
1.
Trombosis vena, akibat
kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya trombosis
vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang dilakukan untuk
mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
2.
Infeksi (seperti haemophilus
influenzae and streptococcus pneumonia), akibat kehilangan immunoglobulin.
3.
Gagal ginjal akut akibat
hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam jaringan, terjadi
juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
4.
Edema pulmonal, akibat
kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang menyebabkan
hipoksia dan dispnea.
9.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Laboratorium
a.
Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan
sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).
b.
Pemeriksaan darah
1.
Hipoalbuminemia dimana kadar
albumin kurang dari 30 gram/liter.
2.
Hiperkolesterolemia (kadar
kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density Lipoprotein
(LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.
3.
Pemeriksaan elektrolit, ureum
dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal
2.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan
lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara jelas,
yaitu:
a.
Biopsi ginjal (jarang
dilakukan pada anak-anak ).
b.
Pemeriksaan penanda
Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).
10.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan
menurunkan risiko komplikasi.
1.
Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma
nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan
proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi
komplikasinya, yaitu:
a.
Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan
natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
b.
Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam,
dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada
beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler
berat.
c.
Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa
kemungkinan adanya TBC
d.
Diuretikum
Boleh diberikan diuretic
jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon, furosemid atau asam
ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron seperti spironolakton
(alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis aldosteron.
e.
Kortikosteroid
International
Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara
pengobatan sebagai berikut :
1. Selama 28 hari prednison diberikan per oral
dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral
selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu
dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
3. Tapering-off: prednison berangsur-angsur
diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
f. Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks
dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis.
(Behrman, 2000)
g.
Diet
Diet rendah garam (0,5 –
1 gr sehari) membantu menghilangkan edema. Minum tidak perlu dibatasi karena
akan mengganggu fungsi ginjal kecuali bila terdapat hiponatremia. Diet tinggi
protein teutama protein dengan ilai biologik tinggi untuk mengimbangi
pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup banyak.
Pada beberapa unit masukan cairan
dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi
2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini
dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha
memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan
yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/
kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan
untuk menjamin masukan yang adekuat.
Makanan yang mengandung protein
tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih
berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit. Diet rendah natrium
tinggi protein. Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein di
tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium.
h.
Kemoterapi:
Prednisolon digunakan
secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis
dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua
kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan
setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping
dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum,
diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.j
Jika terjadi resisten
steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan,
misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan
obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini
termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
2.
Penatalaksanaan Keperawatan
a. Tirah baring: Menjaga
pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa harimungkin diperlukan untuk
meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Baringkan pasien setengah duduk,
karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas. Berikan
alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang,
karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan
menyebabkan edema hebat).
b.
Terapi cairan: Jika klien dirawat di rumah sakit, maka
intake dan output diukur secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk
mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
c.
Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam
perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang
sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan
plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum
harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan
menggosok kulit.
d.
Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat
edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus
diswab dengan air hangat.
e.
Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh
nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan
infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
f.
Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom
nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi
virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan
siklofosfamid.
D.
Konsep
Asuhan Keperawatan pada pasien diare
A.
Pengkajian
1.
Identitas pasien
1.
Identitas pasien : umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th).
Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan genetik
sejak lahir. Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan
anak perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun
terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase oedipal/falik
dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah
genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah
genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan
tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya infeksi.
2.
Keluahan utama : biasanya pasien kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar
(adanya acites).
3.
Riwayat
penyakit saat ini : Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan hal
berikut:
a. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
b. Kaji
onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya
keluhan pusing dan cepat lelah
c. Kaji
adanya anoreksia pada klien
d. Kaji
adanya keluhan sakit kepala dan malaise
4.
Riwayat penyakit dahulu :
a. Apakah
klien pernah menderita penyakit edema?
b. Apakah
ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya?
c. Penting
juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat
5.
Riwayat penyakit keluarga : Kaji
adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu timbulnya
manifestasi klinis sindrom nefrotik.
6.
Pemeriksaan
fisik:
1.
B1 (Breath)
a.
Subyektif, sesak
atau tidak Biasanya
tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas walau secara
frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut
sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan
respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b.
Inspeksi, bentuk
simetris, ekspansi , retraksi interkostal atau subcostal. Kaji frekuensi, irama
dan tingkat kedalaman pernafasan, adakah penumpukan sekresi, stridor pernafas
inspirasi atau ekspirasi.
c.
Palpasi, kajik
adanya massa, nyeri tekan , kesemitrisan ekspansi, tacti vremitus (-).
d.
Auskultasi, dengan
menggunakan stetoskop kaji suara nafas vesikuler, intensitas, nada dan durasi.
Adakah ronchi, wheezing untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta seperti
broncho pnemonia atau infeksi lainnya.
2. B2 (Blood)
a. Subyektif, Sering
ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari peningkatan beban
volume .
b. Inspeksi, pucat,
adanay tekanan vena jugularis atau tidak, pulasisi ictus cordis, adakah
pembesaran jantung, suhu tubuh meningkat.
c. Palpasi, suhu
akral dingin karena perfusi jaringan menurun, heart
rate meningkat karena vasodilatasi pembuluh darah, tahanan
perifer menurun sehingga cardiac output meningkat. Kaji frekuensi, irama dan
kekuatan nadi.
d. Perkusi, normal
redup, ukuran dan bentuk jantung secara kasar pada kausus Creeping eruption
masih dalam batas normal (batas kiri umumnya tidak lebih dari 4-7 dan 10 cm ke
arah kiri dari garis midsternal pada ruang interkostalis ke 4,5 dan 8.
e. Auskultasi, auskulatasi
bunyi jantung S1, S2, murmur atau bunyi tambahan lainnya. Kaji tekanan darah.
3. B3 (Brain)
1.
Subyektif, klien
sadar
atau tidak. Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia
pada sistem saraf pusat.
2.
Inspeksi, Keadaan
umum klien yang diamati mulai pertama kali bertemu dengan klien. Keadaan sakit
diamati apakah berat, sedang, ringan atau tidak tampak sakit. Kesadaran
diamati komposmentis, apatis, samnolen, delirium, stupor dan koma.
3.
Palpasi, adakah
parese, anestesia,
4.
Perkusi, refleks
fisiologis dan refleks patologis.
5.
Kepala, kesemitiras muka, cephal hematoma, caput sucedum,
warna dan distibusi rambut serta kondisi kulit kepala kering, pada neonatus dan
bayi ubun-ubun besar tampak cekung.
6.
Mata, Amati mata conjunctiva adakah anemis, sklera adakah
icterus. Reflek mata dan pupil terhadap cahaya, isokor, miosis atau midriasis.
Pada keadaan diare yang lebih lanjut atau syok hipovolumia reflek pupil, mata
cowong.
7.
Hidung, pada klien dengan dehidrasi berat dapat menimbulkan
asidosis metabolik sehingga kompensasinya adalah alkalosis respiratorik untuk
mengeluarkan CO2 dan mengambil O2,nampak adanya pernafasan cuping hidung.
8.
Telinga, adakah infeksi telinga (OMA, OMP)
berpengaruh pada kemungkinaninfeksi parenteal yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya diare (Lab. IKA FKUA, 1984)
4. B4 (Bladder)
a)
Subyektif, kencing
sedikit lain dari biasanya atau tidak. Perubahan warna urine output
seperti warna urine berwarna kola
b)
Inspeksi, testis
positif pada jenis kelamin laki-laki, apak labio mayor menutupi labio minor, pembesaran
scrotum, rambut. BAK frekuensi, warna dan bau serta cara pengeluaran kencing
spontan atau mengunakan alat. Observasi output tiap 24 jam atau sesuai
ketentuan.
c)
Palpasi, adakah
pembesaran scrotum,infeksi testis atau femosis.
5. B5 (Bowel)
a. Subyektif, Kelaparan, haus. Didapatkan
adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan penurunan intake nutrisi
dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
b.
Inspeksi, BAB,
konsistensi (cair, padat, lembek), frekuensilebih dari 3 kali dalam sehari,
adakah bau, disertai lendi atau darah. Kontur permukaan kulit menurun, retraksi dan kesemitrisan
abdomen.
c.
Auskultasi, Bising
usus (dengan menggunakan diafragma stetoskope), peristaltik usus meningkat
(gurgling) > 5-20 detik dengan durasi 1 detik.
d.
Perkusi, mendengar
aanya gas, cairan atau massa (-), hepar dan lien tidak membesar suara tymphani.
e. Palpasi, adakahnyueri tekan, superfisial
pemuluh darah, massa (-). Hepar dan lien tidak teraba
6. B6 (Bone)
a.
Subyektif, lemah. Didapatkan
adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari
keletihan fisik secara umum.
b.
Inspeksi, klien
tampak lemah, aktivitas menurun
c.
Palpasi, hipotoni,
kulit kering,
elastisitas menurun. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran berat badan dan
tinggi badan , kekuatan otot.
d.
Subyektif, kulit terdapat keloid
berwarna kemerah-merahan.
e.
Inspeksi kulit kering atau tidk,
selaput mokosa kering.
f.
Palpasi, berkeringat atau
tidak, turgor kulit (kekenyalan kulit kembali dalam 1 detik = dehidrasi
ringan, 1-2 detik = dehidrasi sedang dan > 2 detik = dehidrasi berat (Lab
IKA FKUI, 1988).
7. Pola
Nutrisi
Makanan yang terinfeksi,
sehingga status gizi dapat berubah ringan samapai jelek dan dapat terjadi
hipoglikemia.
8. Pola
eliminasi
BAB (frekuensi, banyak, warna dan bau) atau tanpa
lendir, darah dapat mendukung secara makroskopis terhadap kuman penyebab dan
cara penangana lebih lanjut. BAK perlu dikaji untuk output terhadap kehilangan
cairan lewat urine.
9. Pola
istirahat
Bisa tidur atau tidak pada malam hari.
10. Pola
aktivitas
Klien nampak lemah, gelisah sehingga perlu bantuan
sekunder untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
(Doenges dkk, 2000).
B.
Diagnosa keperawatan
1.
Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
2.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia).
3.
Resiko kehilangan volume
cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan dan edema.
C.
Intervensi
No
|
Diagnosa
keperawatan
(NANDA)
|
NOC
|
NIC
|
RASIONAL
|
1.
|
Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
|
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam
diharapkan Kelebihan volume cairan terkontrol dengan
Kriteria Hasil:
a. Pasien tidak menunjukan
tanda-tanda akumulasi cairan.
b.
Pasien mendapatkan volume cairan yang tepat.
a.
.
|
1.
Pantau asupan dan haluaran cairan
setiap pergantian
2.
Timbang berat badan tiap hari
3.
Programkan pasien pada diet rendah
natrium selama fase edema
4.
Kaji kulit, wajah, area tergantung
untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala +1 sampai +4).
5.
Awasi pemerikasaan laboratorium,
contoh: BUN, kreatinin, natrium, kalium, Hb/ht, foto dada
6.
Berikan obat sesuai indikasi
Diuretik, contoh furosemid (lasix), mannitol (Os-mitol;
|
1. Pemantauan membantu menentukan status cairan pasien.
2. Penimbangan berat badan harian adalah pengawasan status cairan terbaik.
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg/hari diduga ada retensi cairan.
3. Suatu diet rendah natrium dapat mencegah retensi cairan
4. Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh.
5.
Mengkaji berlanjutnya dan
penanganan disfungsi/gagal ginjal. Meskipun kedua nilai mungkin meningkat,
kreatinin adalah indikator yang lebih baik untuk fungsi ginjal karena tidak
dipengaruhi oleh hidrasi, diet, dan katabolisme jaringan.
6. Diberikan dini pada fase oliguria untuk mengubah ke fase
nonoliguria, untuk melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalimea, dan meningkatkan volume urine adekuat
|
2
|
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia)
|
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan selama
3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan Kriteria hasil: Klien
dapat Mempertahankan berat badan yang diharapkan
|
1.
Kaji / catat pemasukan diet.
2.
Timbang BB tiap hari.
3.
Tawarkan perawatan mulut sebelum
dan sesudah makan .
4.
Berikan makanan sedikit tapi
sering.
5.
Berikan diet tinggi protein dan
rendah garam.
6.
Berikan makanan yang disukai dan
menarik
7.
Awasi pemeriksaan laboratorium,
contoh: BUN, albumin serum, transferin, natrium, dan kalium.
|
1.
Membantu dan mengidentifikasi
defisiensii dan kebutuhan diet.
2.
Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat
menunjukkan perpindahan keseimbangan cairan.
3.
Meningkatkan nafsu makan
4.
meminimalkan anoreksia dan mual
sehubungan dengan status uremik
5.
Memenuhi kebutuhan protein, yang
hilang bersama urine.
6.
Pasien cenderung mengonsumsi lebih
banyak porsi makan jika ia diberi beberapa makanan kesukanannya.
7.
Indikator kebutuhan nutrisi,
pembatasan, dan efektivitas terapi.
|
3
|
Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler
berhubungan dengan kehilangan protein, cairan dan edema.
|
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam
diharapkan Resiko kehilangan cairan tidak terjadi dengan Kriteria
Hasil: Tidak ditemukannya atau tanda-tandanya kehilangan
cairan intravaskuler seperti:
a. Masukan dan keluaran seimbang
b. Tanda vital yang stabil
c. Elektrolit dalam batas normal
d. Hidrasi adekuat yang ditunjukkan dengan turgor kulit
yang normal
|
1.
. Awasi TTV
2.
Kaji masukan dan haluaran cairan.
Hitung kehilangan tak kasat mata.
3.
Kaji membran mukosa
mulut dan elastisitas turgor kulit
4.
Berikan cairan sesuai indikasi ;
misalnya albumin
5.
Berikan cairan parenteral sesuai
dengan petunjuk
6.
Awasi pemerikasaan laboratorium,
contoh protein (albumin)
|
1.
Hipotensi ortostatik dan takikardi
indikasi hipovolemia.
2.
Membantu memperkirakan kebutuhan
penggantian cairan.
3.
Membran mukosa kering, turgor
kulit buruk, dan penurunan nadi dalah indikator dehidrasi
4.
penggantian cairan tergantung dari
berapa banyaknya cairan yang hilang atau dikeluarkan.
5.
Pemberian cairan parenteral
diperlukan, dengan tujuan mempertahankann hidrasi yang adekuat.
6.
Mengkaji untuk penanganan medis
berikutnya
|
D.
Implementasi
Implementasi merupakan
komponen dari proses keperawatan, dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup : melakukan, membantu dan
mengarahkan kinerja aktivitas sehari - hari, memberikan arahan keperawatan
untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien dan mengevaluasi kinerja anggota
staf dan mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan
perawat kesehatan berkelanjutan dari klien. Selain itu juga implementasi
bersifat berkesinambungan dan interaktif dengan komponen lain dari proses
keperawatan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima tahap
yaitu : mengkaji ulang klien, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang
sudah ada, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan intervensi
keperawatan dan mengkomunikasikan intervensi perawat menjalankan asuhan
keperawatan dengan menggunakan beberapa metode implementasi mencakup supervise,
konseling, dan evaluasi dari anggota tim perawat kesehatan lainnya.
Setelah implementasi, perawat
menuliskan dalam catatan klien deskriptif singkat dari pengkajian keperawatan.
Prosedur spesifik dan respon dari klien terhadap asuhan keperawatan. Dalam
implementasi dari asuhan keperawatan mungkin membutuhkan pengetahuan tambahan
keterampilan keperawatan dan personal.
E.
EVALUASI
Evaluasi merupakan proses
keperawatan yang mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan
kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat mengevaluasi apakah prilaku
atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam diagnosa
keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama evaluasi perawatan
memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah efektif dengan
menelaah respon klien dan membandingkannya dengan prilaku yang disebutkan dalam
hasil yang diharapkan. Selama evaluasi perawat secara kontinyu perawat
mengarahkan kembali asuhan keperawatan kearah terbaik untuk memenuhi kebutuhan
klien.
Evaluasi positif terjadi
ketika hasil yang dinginkan terpenuhi menemukan perawat untuk
menyimpulkan bahwa dosis medikasi dan intervensi keperawatan secara efektif
memenuhi tujuan klien untuk meningkatkan kenyamanan. Evaluasi negative atau
tidak di inginkan menandakan bahwa masalah tidak terpecahkan atau terdapat
masalah potensial yang belum diketahui. Perawat harus menyadari bahwa evaluasi
itu dinamis dan berubah terus tergantung pada diagnosa keperawatan dan kondisi
klien. Hal yang lebih utama evaluasi harus spesifik terhadap klien. Evaluasi
yang akurat mengarah pada kesesuaian revisi dan rencana asuhan yang tidak
efektif dan penghentian terapi yang telah menunjukan keberhasilan.
|
Lampiran Pathway

|
|


![]() |
|||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||
![]() |
![]() |
||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis
ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein
densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3,
yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik sindrom perubahan minimal),
sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan Amyloidosis), dan
idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
2. Saran
1.
Saran Bagi Mahasiswa Keperawatan
Mahasiswa
keperawatan agar meningkatkan pemahamannya terhadap penyakit Sindrom nefrotik sehingga dapat dikembangkan dalam
tatanan layanan keperawatan.
2.
Saran Bagi Perawat
Diharapkan
agar perawat bisa menindak
lanjuti penyakit tersebut melalui kegiatan riset sebagai dasar untuk
pengembangan Evidence Based Nursing Practice.
3.
Saran Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan hendaknya
menyediakan buku – buku yang ada kaitannya dengan penyakit Sindrom nefrotik, sehingga menambah refrensi bagi
mahasiswa keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Behrman, R.E.
MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC
2.
Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
Salemba medika. Jakarta.
3.
Husein A Latas. 2002. Buku
Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
4.
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Satu Diagnosa Keperawatan Nanda NIC
NOC, Edisi 9. EGC. Jakarta
5.
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika
6.
Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1,
Media Aesculapius: Jakarta
9.
http://ryrilumoet.blogspot.co.id/2010/11/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar