Senin, 22 Agustus 2016

balut bidai pada muskuloskeletal



BAB I
PENDAHULUAN

A.    PENDAHULUAN
Kerap kali kita jumpai pada saat mengevakuasi korban kecelakaan / korban bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, bisanya di pergunakan sebuah penopang kayu / besi & sebagainya di bagian tubuh tertentu yg diduga terjadi syok, patah tulang, ataupun retak. Benda tersebut ialah balut bidai.
Balut bidai ialah penanganan umum trauma ekstremitas / imobilisasi dari lokasi trauma dgn memanfaatkan penyangga misalnya splinting (spalk). Balut bidai ialah jalinan bilah (rotan, bambu) sebagai kerai (buat tikar, tirai penutup pintu, belat, dsb) / jalinan bilah bambu (kulit kayu randu dsb) buat membalut tangan patah dsb.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian balut bidai
2.      Bagaiamana macam macam balut bidai

C.    TUJUAN
1.      Mahasiswa bisa mengetahui pengertian blut bidai
2.      Mahasiswa bisa mengetahui macam-macam balut bidai
3.      Mahasiswa bisa mempraktekan balut bidai



BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI
Balut bidai adalah tindakan memfiksasi /mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami cidera dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator /imobilisator.
Balut bidai adalah pertolongan pertama dengan pengembalian anggota tubuh yang dirsakan cukup nyaman dan pengiriman korban tanpa gangguan dan rasa nyeri ( Muriel Steet ,1995 ).
Balut bidai adalah suatu cara untuk menstabilkan /menunjang persendian dalam menggunakan sendi yang benar /melindungi trauma dari luar ( Barbara C, long ,1996)

B.     TUJUAN PEMBIDAIAN 
1.      Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
2.      Mempertahankan posisi yang nyaman.
3.      Mempermudah transportasi organ
4.      Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera.
5.      Mempercepat penyembuhan.
6.      Memperrtahankan posisi bagian tulang yang patah agar tidak bergerak
7.      Memberikan tekanan
8.      Melindungi bagian tubuh yang cedera
9.      Memberikan penyokong pada bagian tubuh yang cedera.
10.  Mencegah terjadinya pembengkakan
11.  Mencegah terjadinya kontaminasi dan komplikasi
12.  Memudahkan dalam transportasi penderita.



C.    TUJUAN PEMBALUTAN
1.      Menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser dari tempatnya
2.      Mencegah terjadinya pembengkakan
3.      Menyokong bagian badan yang cidera dan mencegah agar bagian itu tidak bergeser 
4.      Menutup agar tidak kena cahaya, debu dan kotoran
5.      Menahan sesuatu seperti :menahan penutup luka, menahan bidai
menahan bagian yang cedera dari gerakan dan geseran, menahan rambut kepala di tempat
6.      Memberikan tekanan, seperti terhadap :kecenderungan timbulnya perdarahan atauhematoma, adanya ruang mati (dead space)
7.      Melindungi bagian tubuh yang cedera.
8.       Memberikan "support" terhadap bagian tubuh yang cedera

D.    INDIKASI PEMBIDAIAN
1.      Fraktur (Patah Tulang)
a.       Fraktur terbuka yaitu tulang yang patah mencuat keluar melalui luka yang terdapat pada kulit.
b.      Fraktur tertutup yaitu tulang yang patah tidak sampai keluar melalui luka yang terdapat di kulit.
Kemungkinan patah tulang harus selalu dipikirkan setiap terjadi kecelakaan akibat benturan yang keras. Apabila ada keraguan, perlakuan korban sebagai penderita patah tulang. Pada fraktur terbuka tindakan pertolongan harus hati-hati, karena selain bahaya infeksi gerakan tulang yang patah itu dapat melukai pembuluh-pembuluh darah sekitarnya sehingga terjadi perdarahan baru.

2.      Terkilir
Terkilir merupakan kecelakaan sehari-hari, terutama di lapangan olah raga. Terkilir disebabkan adanya hentakan yang keras terhadap sebuah sendi, tetapi dengan arah yang salah. Akibatnya, jaringan pengikat antara tulang (ligamen) robek. Robekan ini diikuti oleh perdarahan di bawah kulit. Darah yang berkumpul di bawah kulit itulah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan.
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada sendi yang mengalami terkilir :
a.       Terjadi peregangan dan memar pada otot atau ligamen, jenis ini digolongkan terkilir ringan.
b.      Robekan pada ligamen, ditandai dengan rasa nyeri, bengkak dan memar biasanya lebih berat dari pada jenis tang pertama. Jenis ini digolongkan terkilir sedang.
c.       Ligamen sudah putus total sehingga sendi tidak lagi stabil. Biasanya terjadi perdarahan sekitar robekan, yang tampak sebagai memaryang hebat.
3.      Luka terbuka
4.      Penekanan untuk menghentikan pendarahan

Kecurigaan fraktur bisa dimunculkan jika salah satu bagian tubuh diluruskan.
1.      Pasien merasakan tulangnya terasa patah /mendengar bunyi “krek”
2.      Ekstremitas yang cidera lebih pendek dari yang sehat /mngalami angulasi abnormal.
3.      Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cidera 
4.      Posisi ekstremitas yang abnormal 
5.      Memar 
6.      Bengkak
7.      Perubahan bentuk
8.      Nyeri gerak aktif dan pasif 
9.      Nyeri sumbu
10.  Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan ekstremitas yang mengalami k. cidera (krepitasi )
11.  Fungsiolaesa
12.  Perdarahan bisa ada /tidak.
13.  Hilangnya denyut nadi /rasa raba pada distal lokasi cidera.
14.  Kram otot sekitar lokasi cidera.


E.     KONTRA INDIKASI
1.      Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran nafas, pernafasan dan sirkulasi penderita sudah distabilkan. Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.
2.      Hipermobilitas
3.      Efusi Sendi
4.      Inflamasi
5.      Fraktur humeri dan osteoporosis

F.     PENANGANAN BALUT DAN BIDAI 
1.      Luka Terbuka
Pada luka terbuka, terjadi cedera pada kulit yang menyebabkan jaringan di bawah kulit tersebut mengalami paparan terhadap dunia luar, sehingga risiko terjadinya infeksi meningkat. Contoh dari luka terbuka antara lain luka tusuk, luka tembak/tembus, luka sayat, luka serut/cakar, luka lecet/ laserasi, dan luka amputasi.
Penanganan pada luka terbuka perlu dilakukan segera terutama jika disertai perdarahan yang parah karena dapat menyebabkan syok. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanganan luka adalah:
a.       Pastikan kondisi lingkungan sekitar penolong dan korban aman. Jika kondisi tidak aman (di tengah jalan, reruntuhan, dll) segera pindahkan korban ke tempat yang aman.
b.      Gunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan
c.       Pastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi pasien
d.      Jika terlihat perdarahan yang parah, segera aktifkan SPGDT dengan menghubungi ambulans
Setelah itu, mulai dilakukan penanganan pada luka dengan langkah-langkah berikut:
a.       Pastikan lokasi dan jumlah bagian tubuh yang terluka dengan memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose)
b.      Jika memungkinkan tidak melukai korban lebih jauh, lepaskan perhiasan, jam tangan, atau aksesoris lainnya pada bagian tubuh korban yang terluka karena dapat terjadi pembengkakan dan mengganggu aliran darah
c.       Bersihkan luka dengan mengalirkan air bersih hingga tidak ada kotoran yang menempel
d.      Lakukan kontrol perdarahan agar perdarahan berhenti. Berikut adalah beberapa cara untuk mengontrol perdarahan:
1)      Penekanan Langsung (Direct Pressure)
Penekanan  langsung  pada  luka  adalah  cara  yang  paling  baik  untuk  menghentikan perdarahan, kecuali pada luka di mata. Cara untuk melakukan penekanan langsung adalah dengan menggunakan kasa atau kain yang diletakkan di atas luka lalu ditekan. Jika perdarahan tidak berhenti, tambahkan kain atau kasa baru di atas yang lama kemudian ditekan kembali. Penekanan langsung dapat juga dilakukan dengan menggunakan tangan penolong bila memang tidak ada kain/kassa. Penekanan tidak hanya dilakukan dengan kuat, tetapi juga dalam waktu yang cukup lama untuk menghentikan perdarahan (sekitar 20 menit atau lebih). Jika perdarahan tidak berhenti, dapat dilakukan balut tekan dengan cara menaruh benda padat seperti kasa tebal di atas luka kemudian dibalut.
2)      Elevasi
Jika luka terdapat di area tangan/kaki, tinggikan posisi tangan/kaki hingga di atas ketinggian jantung korban. Hal ini dilakukan untuk mengurangi aliran darah ke area luka sehingga perdarahan dapat melambat. Cara ini tidak boleh dilakukan pada korban dengan patah tulang/cedera karena dapat memperparah kondisi patah tulang/cederanya.






3)      Penekanan dengan Jari
Penekanan dengan ujung permukaan jari dilakukan di pembuluh darah sebelum area luka untuk mengurangi aliran darah ke area luka.2,4 Lokasi-lokasi penekanan pembuluh darah dapat dilihat pada gambar 1.






Gambar 1. Lokasi penekanan dengan jari1

Elevasi dan penekanan dengan jari adalah cara yang kurang efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi dapat membantu dalam prosesnya. Oleh karena itu, ketiga cara di atas dilakukan secara bersamaan seperti ditunjukkan pada gambar 2.




Gambar 2. Cara mengontrol perdarahan

4)      Torniket (Tourniquets)
Cara ini hanya digunakan jika perdarahan masih terus berlanjut walaupun cara lain seperti penekanan langsung, balut tekan, dll sudah dilakukan dan hanya dapat dipasang di tangan/kaki.Penggunaan torniket dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena tidak adanya aliran darah pada area luka dan bawahnya dan berakibat hilangnya fungsi dari tangan/kaki.3 Berikut adalah cara memasang torniket:
a)      Lingkarkan kain 5-10cm di atas area luka kemudian diikat

b)      Letakkan batang kayu kecil atau pensil di bawah simpul ikatan

c)      Kecangkan ikatan kain dengan memutar batang kayu hingga perdarahan berhenti


d)     Ikat ujung batang kayu agar kain tidak kembali kendur

Gambar 3. Cara memasang torniket

Tiap 10-15 menit, torniket dapat dikendurkan selama 1-2 menit agar aliran darah tidak sepenuhnya hilang di area luka dan bawahnya.



2.      Luka bakar
Luka bakar dapat terjadi akibat suhu yang sangat tinggi, paparan kimia, radiasi (UV, terapi) dan juga dari listrik.4 Penanganan luka bakar yang dapat dilakukan adalah:
a.       Jauhkan sumber panas dari korban
b.      Dinginkan luka bakar dengan cara mengalirkan air atau merendam area luka bakar jika memungkinkan selama 20 menit seperti pada gambar 17
c.       Lepaskan pakaian dan aksesoris lainnya seperti jam tangan dan cincin yang berada di sekitar area luka bakar dengan hati-hati
d.      Jika korban terluka parah, merasa sangat kesakitan, melibatkan mata atau lebih dari setengah lengannya segera aktifkan SPGDT dengan menelepon ambulans terdekat
e.       Balut area luka bakar dengan pembungkus plastik bersih seperti pada gambar 18





Gambar 17. Pendinginan area luka bakar

Gambar 18. Membungkus area luka bakar








Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan dalam penanganan luka bakar:
a.       Memecahkan bula atau mencabut kulit yang terkelupas
b.      Melepaskan secara paksa apapun yang sudah melekat pada kulit akibat luka bakar
c.       Mengoleskan krim, pasta gigi, mentega, atau apapun ke area luka bakar karena dapat menyebabkan infeksi
Penggantian Balutan
Dalam mengganti balutan, perawat harus menggunakan APD. Balutan atau kasa yang menempel pada luka dapat dilepas tanpa menimbulkan sakit jika sebelumnya dibasahi dengan larutan salin atau bial pasien dibiarkan berandam selama beberapa saat dalam bak rendaman. Pembalut sisanya dapat dilepas dengan hati-hati memakai forseps atau tangan yang menggunakan sarung tangan steril. Kemudian luka dibersihkan dan didebridemen untuk menghilangkan debris, setiap preparat topikal yang tersisa, eksudat, dan kulit yang mati. Selama penggantian balutan ini, harus dicatat mengenai warna, bau, ukuran, dan karakteristik lain dari luka.(Smeltzer, 2001)

3.      Venous ulcer
Strategi utama dalam penatalaksanaan Insufisiensi Vena dan Hypertensi Vena (sebagai penyebab utama venous ulcer) adalah:
a.       Terapi Kompressi (Compression Therapy).
Terapi kompresi merupakan suatu modalitas yang bertujuan untuk memberikan tekanan eksternal pada ekstrimitas bawah untuk memfasilitasi aliran balik vena. Modalitas ini telah digunakan sejak abad ke 17 (dalam bentuk stocking tali yang keras). Pada abad ke 21 terapi kompressi measih menjadi pilihan utama dalam manajemen venous ulcer (Cullum, et al 2003; Kantor and Margolis, 2003). Dan dapat pula diaplikasikan pada LEVD yang disertai dengan dermatitis akut dan cellulitis (WOCN Society, 2005). Mekanisme kerja terapi kompressi pada dasarnya adalah memberikan tekanan dari mata kaki ke lutut dan memberikan tekanan untuk mensuport calf muscle pump saat ambulasi dan dorsofleksi. Oleh karena itu terapi ini meningkatkan aliran balik vena. Sebagai tambahan terapi kompresi memberikan tekanan pada jaringan superficial sehingga meningkatkan tekanan interstisial sehingga mencegah kebocoran plasma yang pada akhirnya akan mengurangi edema.
Besar tekanan atau Level of Compression yang diberikan merupakan factor penting dalam terapi. Besar tekanan merupakan jumlah tekanan yang diberikan terhadap jaringan. Umumnya besar tekanan berkisar antara 20-60 mmHg pada mata kaki. Tekanan sebesar 30-40 mmHg pada mata kaki biasa digunakan untuk venous ulcer. Tekanan sebesar ini dilaporkan efektif dalam mengontrol hypertensi vena dan mencegah pembentukan edema tungkai pada kebanyakan pasien dengan venous disease (de Arujo et al, 2003; Kunimot, 2001b; Paquette and Falanga, 2002; Phillips, 200).
b.      Peninggian tungkai (Limb elevation).
Peninggian tungkai merupakan prosedur yang sangat sederhana namun sangat efektif dalam meningkatkan aliran balik vena dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Modalitas ini sangat penting bagi pasien dengan venous ulcer bahkan esensisal bagi pasien dengan venous ulcer yang tidak dapat mentoleransi terapi kompressi. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk meninggikan kakinya (lebih tinggi dari jantung) selama 1-2 jam, dua kali sehari (lebh baik sebelum tidur).
Selanjutnya pasien juga dianjurkan untuk menghindari berdiri lama atau duduk lama dengan posisi kaki menggantung (dependent). Bila harus berdiri atau duduk lama, maka sebaiknya disertai dengan “jalan-jalan ringan”. Untuk memastikan pasien melaksanakan modalitas ini dapat dibuatkan ‘leg-up chart’ dan dievaluasi setiap kunjungan (Kunimot, 2001b; Wipke-Tevis and Sae-Sia, 2004).

4.      Luka kanker
Berikut beberapa tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mengendalikan gejala dalam perawatan luka kanker;
a.       Eksudat yang berlebihan; dapat digunakan balutan yang menyerap eksudat banyak seperti hidroselulosa (Aquacel), foam, gammge dan lainnya. Usahakan balutanyang digunakan tidak melekat pada luka untuk menghindari perdarahan ketika membuka balutan. Eksudat juga akan menyebabkan kulit sekitar luka lecet, untuk itu dapat digunakan film barrier atau cream (zink cream atau metcovazin cream dll).
b.      Bau tidak sedap; ditimbulkan akibat infeksi bakteri. Balutan yang dapat digunakan adalah yang mengandung silver yang dapat mengurangi pertumbuhan bakteri, dan efektif mengontrol bau. Charcoal dressing (Carboflex dll) juga dapat digunakan untuk mengontrol bau. Jika bahan yang digunakan terlalu mahal maka dapat digunakan metode alami menggunakan madu asli atau pasta gula yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri (6). Penggunakan aromaterapi untuk lingkungan sekitar juga dapat membantu mengendalikan bau tidak sedap dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien.
c.       Nyeri; disebabkan kerusakan saraf akibat kanker atau akibat dressing yang melekat pada kulit. Obat anti nyeri/ analgetik dapat diberikan sebelum perawatan dan memilih balutan yang tidak lengket pada luka akan membantu mengurangi nyeri pada pasien luka kanker.
d.      Perdarahan; diakibatkan oleh sel kanker yang merusak pembuluh darah kapiler. Memilih balutan/dressing yang tidak melekat pada luka akan mengurangi resiko perdarahan ketika membuka balutan. Selain itu juga dapat digunakan balutan yang mengandung kalsium alginat (kaltostat, suprasorb A, seasorb dll) yang dapat menghentikan perdarahan minor. Jika perdarahan tidak berhenti maka dapat digunakan adrenalin dan tekan lembut pada daerah yang perdarahan
e.       Gatal; disebakan oleh kulit yang meregang dan ujung saraf yang teriritasi oleh kanker. Dapat diberikan anti histamin, TENS machine ( membantu merangsang otak mengeluarkan endorphin/painkiller), menggunakan lembaran hidrogel untuk menghidrasi kulit dan krim mentol






G.    JENIS PEMBIDAIAN
1.      Tindakan pertolongan sementara 
a.       Dilakukan ditempat cidera sebelum ke rumah sakit 
b.      Bahan untuk bidai bersifat sederhana dan apa adanya 
c.       Bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan meghindarkan kerusakan yang lebih berat.
d.      Bisa dilakukan oleh siapapun yang sudah mengetahui prinsip dan tehnik dasar pembidaian 
2.      Tindakan pertolongan definitif
a.       Dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, klinik / RS
b.      Pembidaian dilakukan untuk proses penyembuhan fraktur /dislokasi menggunakan alat dan bahan khusus sesuai standar pelayanan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih.

H.    JENIS-JENIS BIDAI
1.      Bidai keras: Merupakan bidai yang paling baik dan sempurna dalam kesdaan darurat.kesulitannya adalah mendapatkan bahan yang mempunyai syarat dilapangan. Contoh pada pasien fraktur tulang
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMIUmSTGOkPlt1-fF-uweXLo3mNOsXd7BLYrWGz1KySSYFEWc5VcxfgkOUNYHke3g31yHs0jLiy5dPk6sDkg2NmbkyFTcuzF4uMUFh6OmYShl5kqr6Gku_gA5DVJnEqmyBYjiFCoW-l1Vk/s1600/8.jpg

2.      Bidai Traksi: Bidai bentuk jadi dan berfariasi tergantung dari pembuatannya hanya dipergunakan oleh tenaga yang terlatih khusus umumnya dipakai pada patah tulang paha. Contoh : fraktur tulang paha.
http://images.slideplayer.info/8/2419791/slides/slide_30.jpg


3.      Bidai improvisasi: Bidai yang cukup dibut dengan bahan cukup kuat dan ringan untuk menopang ,pembuatannya sangat tergantung dari bahan yang tersedia dan kemampuan improvisasi si penolong. Contoh :pasien luka kecelakaan
4.      Gendongan /belat dan bebat: Pembidaian dengan menggunakan pembalut umumnya dipakai misalnya dan memanfaatkan tubuh penderita ebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah cidera contoh pada pasien fraktur pada tangan
https://obatpatahtulangku.files.wordpress.com/2013/12/patah-tulang.jpeg





I.        MACAM BIDAI
1.      Mitela
http://medicom.co.id/wp-content/uploads/2014/08/mitela-pembalut-siku-onemed-medicom.jpg
a.       Bahan mitela terbuat dari kain berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai ukuran. Panjang kaki antara 50-100 cm.
b.      Pemabalutan ini dipergunakan pada bagian kaki yang berbentuk bulat atau untuk menggantung bagian tubuh yang cedera.
c.       Pembalutan ini bisa dipakai pada cedera dikepala, bahu, dada, siku, telapak tangan dan kaki, pinggul serta untuk menggantung lengan.
2.      Dasi 
a.       Pembalut ini adalah mitela yang dilipat-lipat dari satu sisi segitiga agar menjadi beberapa lapis dan bentuk seperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan lebarnya antara 5-10 cm.
b.      Pembalut ini bisa dipakai pada saat membalut mata, dahi rahang, ketiak, lengan, siku, paha, serta lutut betis, dan kaki yang terkilir.
3.      Pita (Gulungan)
a.       Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kasa, bahan elastic. Bahan yang paling sering adalah dari kasa karena mudah menyerap air, darah, dan tidak mudah bergeser (kendur).
b.      Macam-macam pembalut yang digunakan adalah sebagai berikut;
1)      Lebar 2,5 cm : untuk jari-jari
2)      Lebar 5 cm : untuk leher dan pergelangan tangan.
3)      Lebar 7,5 cm : untuk kepala, lengan atas dan bawah, betis dan kaki.
4)      Lebar 10 cm : untuk paha dan sendi panggul.
5)      Lebar 15 cm : untuk dada, perut, punggung.

J.      PROSEDUR DASAR PEMBIDAIAN
1.      Persiapan penderita 
a.       Menenangkan penderita ,jelaskan bahwa akan memberikan pertolongan.
b.      Pemeriksaan mencari tanda fraktur /dislokasi
c.       Menjelaskan prosedur tindakan yang dilakukan 
d.      Meminimalkan gerakan daerah luka. Jangan menggerakkan /memindahkan korban jika keadaan tidak mendesak.
e.       Jika ada luka terbuka tangani segera luka dan pendarahan dengan menggunakan cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kassa steril
f.       Jika mengalami deformitas yang berat dan adanya gangguan pada denyut nadi ,sebaiknya dilakukan telusuran pada ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan harus hati-hati agar tidak memperberat .
g.      Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekan kkuku pada ekstremitas yang cedera dengan ekstremitas yang tidak cedera secara bersamaan. Periksa apakah pengembalian warna merah secara bersamaan /mengalami keterlambatan pada ekstremitas yang cedera. Jika terjadi gangguan sirkulasi segera bawa ke RS.Jika terjadi edema pada daerah cedera ,lepaskan perhiasan yang dipakai penderita .
h.      jika ada fraktur terbuka dan tampak tulang keluar. Jangan pernah menyentuh dan membersihkan tulang tersebut tanpa alat steril karena akan memperparah keadaan .
2.      Persiapan alat 
a.       Bidai dalam bentuk jadi /bidai standart yang telah dipersiapkan 
b.      Bidai sederhana (panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai )contoh :papan kayu, ranting pohon.
c.       Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu) sebaiknya dibalut dengan bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dsb)
d.      Bahan yang digunakan sebagai pembalut pembidaian bisa berasal dari pakaian atau bahan lainnya. Bahan yang digunakan harus bisa membalut dengan sempurna pada ekstremitas yang dibidai namun tidak terlalu ketat karena dapat menghambat sirkulasi

K.    TINDAKAN PELAKSANAAN PEMBIDAIAN
1.      Pembidaian meliputi 2 sendi, sendi yang masuk dalam pembidaian adalah sendi dibawah dan diatas patah tulang .Contoh :jika tungkai bawah mengalami fraktur maka bidai harus bisa memobilisasi pergelangan kaki maupun lutut 
2.      Luruskan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur secara hati-hati dan jangan memaksa gerakan ,jika sulit diluruskan maka pembidaian dilakukan apa adanya 
3.      Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan dapat dilakukan traksi,tapi jika pasien merasakan nyeri ,krepitasi sebaiknya jangan dilakukan traksi, jika traksi berhasil segara fiksasi,agar tidak beresiko untuk menciderai saraf atau pembuluh darah.
4.      Beri bantalan empuk pada anggota gerak yang dibidai 
5.      Ikatlah bidai diatas atau dibawah daerah fraktur ,jangan mengikat tepat didaerah fraktur dan jangan terlalu ketat

L.     PRINSIP PEMBERIAN BALUT BIDAI
1.      Prinsip pembalutan
a.       Rapat dan rapi
b.      Jangan terlalu longgar
c.       Ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui funsi sirkulasi
d.      Bila ada keluhan terlalu erat longgarkan
2.      Prinsip pembidaian
a.       Lakukan pembidaian pada tempat dimana anggota badan mengalami cedera.
b.      Lakukan pembidaian pada dugaan terjadinya patah tulang.
c.       Melewati minimal dua sendi yang berbatasan
d.      Untuk pemasangan spalk pada saat pemasangan infuse pada bayi dan anak-anak yang hiperaktivitas

M.   PERALATAN
1.      Pembalut yang sesuai (Mitella/dasi/pita)
2.      Spalk
3.      Plaster
4.      Kasa steril
5.      Handscoon dalam bak instrumen
6.      Betadine dan cairan desinfektan dalam kom
7.      Bengkok 
8.      Korentang
9.      Gunting plester

N.    KOMPLIKASI
1.      Dapat menekan jaringan pembuluh darah / syaraf dibawahnya bila bidai terlalu ketat
2.      Bila bidai terlalu longgar masih ada gerakan pada tulang yang patah
3.      Menghambat aliran darah
4.      Memperlambat transportasi penderita bila terlalu lama melakukan pembidaian
    1. Bula, kegagalan flap/graf
    2. Risiko perdarahan/hematima yang meningkatkan
    3. Infeksi  gram negatif, infeksi Candida
    4. Nyeri dan perdarahan saat penggantian balutan
    5. Iritan/dermattis kontak alergi










O.    KOMPARTEMEN SINDROM
1.    DEFINISI
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, parestesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang. (1,2,3)
Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik, tergantung dari penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan lamanya gejala. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan arteri, dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik dapat disebabkan oleh aktivitas yang berulang misalnya lari.
2.    ETIOLOGI
Penyebab terjadinya sindroma kompartemen adalah tekanan di dalam kompartemen yang terlalu tinggi, lebih dari 30 mmHg. Adapun penyebab terjadinya peningkatan tekanan intrakompartemen adalah peningkatan volume cairan dalam kompartemen atau penurunan volume kompartemen.
Peningkatan volume cairan dalam kompartemen dapat disebabkan oleh :
a.       Peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka bakar, trauma langsung.
b.      Peningkatan tekanan kapiler, akibat latihan atau adanya obstruksi vena.
c.       Hipertrofi otot.
d.      Pendarahan.
e.       Infus yang infiltrasi.
f.       Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan oleh : Balutan yang terlalu ketat




3.    KLASIFIKASI
Pada regio brachium, kompartemen dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
A.    Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median.
B.     Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior.
Pada regio antebrachium, kompartemen dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
A.    Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median.
B.     Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior.
C.     Mobile wad : otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor carpi radialis brevis, otot brachioradialis
Pada regio wrist joint, kompartemen dibagi menjadi 6 bagian yaitu :
A.    Kompartemen I : otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis.
B.     Kompartemen II : otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi radialis longus.
C.     Kompartemen III : otot ekstensor pollicis longus.
D.    Kompartemen IV : otot ekstensor digitorum communis, otot ekstensor indicis.
E.     Kompartemen V : otot ekstensor digiti minimi.
F.      Kompartemen VI : otot ekstensor carpi ulnaris.
Pada regio cruris, kompartemen dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
A.    Kompartemen anterior : otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari kaki, nervus peroneal profunda.
B.     Kompartemen lateral : otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal superfisial.
C.     Kompartemen posterior superfisial : otot gastrocnemius dan soleus, nervus sural.
D.    Kompartemen posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki, nervus tibia.

4.      PATOFISIOLOGI
Perkembangan sindroma kompartemen tergantung tidak hanya pada tekanan intrakompartemen tapi juga tekanan sistemik darah. Patofisiologi sindroma kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia.
Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan menyebabkan kapiler kolaps, nutrisi tidak dapat mengalir keluar ke sel-sel dan hasil metabolisme tidak dapat dikeluarkan. Hanya dalam beberapa jam, sel-sel yang tidak memperoleh makanan akan mengalami kerusakan. Pertama-tama sel akan mengalami pembengkakan, kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi pembengkakan lebih lanjut. Pembengkakan yang terus bertambah menyebabkan tekanan meningkat.
Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif (misal : histamin, serotonin) yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat kerusakan disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis.
5.      GEJALA KLINIS
A.    Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung.
B.     Pallor (pucat) : kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat, abu-abu atau keputihan.
C.     Parestesia : biasanya memberikan gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi.
D.    Paralisis : biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi, merupakan tanda yang lambat diketahui.
E.     Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) : akibat adanya gangguan perfusi arterial.

6.      PENGUKURAN TEKANAN KOMPARTEMEN
Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari pemeriksaan fisik tidak memberi hasil yang memuaskan. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain :
A.    Teknik injeksi
Jarum ukuran 18 dihubungkan dengan spoit 20 cc melalui saluran salin dan udara. Saluran ini kemudian dihubungkan dengan manometer air raksa standar. Setelah jarum disuntikkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam spoit akan meningkat sehingga meniskus salin-udara tampak bergerak. Kemudian tekanan dalam kompartemen dapat dibaca pada manometer air raksa.
B.     Teknik Wick kateter
Wick kateter dan sarung plastiknya dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tabungnya diisi oleh three-way yang dihubungkan dengan transducer. Sangat perlu untuk memastikan bahwa tidak ada gelembung udara dalam sistem tersebut karena memberi hasil yang rendah atau mengaburkan pengukuran. Ujung kateter harus dapat menghentikan suatu meniskus air sehingga dapat dipastikan dan diketahui bahwa dalam jaringan tersebut dilewati suatu trocar besar, kemudian jarumnya ditarik dan kateter dibalut ke kulit.
7.      TERAPI
Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
A.    Terapi medikal / non bedah
1.      Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia
2.      Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut kontriksi dilepas
3.      Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah
4.      Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik
B.     Terapi pembedahan / operatif
Fasciotomi adalah pengobatan operatif pada sindroma kompartemen dengan stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.Terapi untuk sindroma kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.
Adapun indikasi untuk melakukan fasciotomi adalah :
1.      Ada tanda-tanda klinis dari sindroma kompartemen.
2.      Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg.

8.      FASCIOTOMI PADA REGIO CRURIS
Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio cruris : fibulektomy, fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi adalah prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif.
A.    Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal.
B.     Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) :
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.

9.      FASCIOTOMI PADA REGIO ANTEBRACHIUM
A.    Pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan.(1,19)
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.
B.     Pendekatan Volar Ulnar
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.
C.     Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.

10.  KOMPLIKASI
A.    Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia pada jaringan tersebut.
B.     Kontraktur volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan kelanjutan dari sindroma kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau bulan.
C.     Infeksi.
D.    Hipestesia dan nyeri.
E.     Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.

P.     PERSIAPAN
1.      PERSIAPAN PASIEN
a.       Menenangkan penderita ,jelaskan bahwa akan memberikan pertolongan.
b.      Pemeriksaan mencari tanda fraktur /dislokasi
c.       Menjelaskan prosedur tindakan yang dilakukan
d.      Meminimalkan gerakan daerah luka. Jangan menggerakkan /memindahkan korban jika keadaan tidak mendesak.
e.       Jika ada luka terbuka tangani segera luka dan pendarahan dengan menggunakan cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kassa steril
f.       Jika mengalami deformitas yang berat dan adanya gangguan pada denyut nadi ,sebaiknya dilakukan telusuran pada ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan harus hati-hati agar tidak memperberat .
g.      Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekan kuku pada ekstremitas yang cedera dengan ekstremitas yang tidak cedera secara bersamaan. Periksa apakah pengembalian warna merah secara bersamaan /mengalami keterlambatan pada ekstremitas yang cedera.
h.      Jika terjadi gangguan sirkulasi segera bawa ke RS
i.        Jika terjadi edema pada daerah cedera ,lepaskan perhiasan yang dipakai penderita
j.        Jika ada fraktur terbuka dan tampak tulang keluar. Jangan pernah menyentuh dan membersihkan tulang tersebut tanpa alat steril karena akan memperparah keadaan .

2.      PERSIAPAN LINGKUNGAN
Menyiapkan lingkungan aman dan nyaman

Q.    PROSEDUR KERJA
1.      Memberi salam
2.      Jelaskan prosedur kepada klien dan menanyakan keluhan yang dirasakan.
3.      Mencuci tangan
4.      Menjaga privasi klien dengan membuka bagian yang akan dilakukan tindakan atau menutup tirai. 
5.      Melihat bagian tubuh mana yang akan dibalut.
6.      Atur posisi klien tanpa menutupi bagian tubuh yang akan dilakukan tindakan.
7.      Lepaskan pakaian yang menutupi tempat untuk mengambil tindakan.
8.      Perhatikan tempat yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan berikut:
a.       Bagian dari tubuh mana
b.      Apakah ada luka terbuka atau tidak
c.       Bagaimana luas luka tersebut
d.      Apakah perlu membatasi gerak tubuh tertentu atau tidak
e.       Memakai sarung tangan steril
f.       Pilih jenis balutan yang akan dipergunakan atau dikombinasi.
g.      Sebelum dibalut, jika luka terbuka, perlu diberi desinfektan.
h.      Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan hal berikut:
1)      Dapat membatasi pergeseran atau gerak tubuh lainnya
2)      Sesedikit mungkin membatasi gerak tubuh yang lain
3)      Tidak mengganggu peredaran darah misalnya pada saat membalut berlapis-lapis
i.        Cara melakukan pembalutan
1)      Cara membalut dengan mitela
a.       Salah satu mitela dilipat 3-4 cm sebanyak 1-3 kali.
b.      Pertahankan sisi yang telah terlipat terletak diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi diikat.
c.       Salah satu ujung bebas lainnya ditarik dan dapat diikat pada lipatan, diikat pada tempat lain, atau dapat dibiarkan bebas. Hal ini tergantung pada tempat dan kepentingan.
2)      Cara membalut dengan dasi
a.       Pembalut mitela dilipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-masing ujung lancip.
b.      Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikat.
c.       Diusahakan agar balutan tidak mudah kendur dengan cara sebelum diikat arahnya saling menarik.
d.      Kedua ujungnya diikatkan secukupnya.
3)      Cara membalut dengan pita
a.       Berdasarkan besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka dipilih pembalut pita dengan ukuran lebar yang sesuai.
b.      Balutan pita yang biasanya terdiri atas beberapa lapis, dimulai dari salah satu ujung yang diletakkan dari proksimal kedistal menutup sepanjang bagian tubuih yang akan dibalut, kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih antara bebatan yangn satu dengan bebatan berikutnya. 
c.       Kemudian ujung yang didalam ditarik dan diikat dengan ujung yang lain

R.    EVALUASI
1.      Mencatat tindakan pemasangan perban dan respon klien dalam catatan keperawatan.
2.      Mencatat warna, kehangatan, nadi, dan mati rasa.
3.      Mencatat hasil tindakan perawatan luka yang mencakup data subyektif dan obyektif, analisa dan planning.
4.      Evaluasi hasil pembalutan ; mudah lepas/longgar, terlalu ketat (mengganggu peredaran darah / gerakan)
5.      Evaluasi perasaan klien























BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Balut bidai ialah pertolongan pertama dgn pengembalian anggota tubuh yg dirasakan cukup nyaman & pengiriman korban tiada gangguan rasa nyeri. (Muriel Street, 1995)
Balut bidai ialah suatu cara buat menstabilkan/menunjang persendian dlm memanfaatkan sendi yg benar/melindungi trauma dari luar (Barbara C Long, 1996)
Jadi balut bidai ialah suatu balutan yg dibalutkan pada area tubuh tertentu dgn memanfaatkan perban/mitela yg biasanya disangga balok kayu ataupun besi tujuannya buat melindungi trauma, mengurangi pergerakan pada daerah patah / retak.

B.     SARAN
Diaharapkan mahasiswa / mahasiswi dapat mengetahui tentang balut bidai.




DAFTAR PUSTAKA


Ely, A dkk.1996. Penuntun Praktikum Keterampilan Kritis III Buat Mahasiswa D-3 Keperawatan. Jakarta: Salemba.

Mancini, Mary E. 1994. Prosedur Keperawatan Darurat. Jakarta : EKG.

Mohamad, Kartono. 1991. Pertolongan Pertama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Purwadianto, Agus. 2000. Kedaruratan medik. Jakarta : Binarupa Aksara.

Schaffer, dkk. 2000. Pencegahan Infeksi & Praktek Yg Aman. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar